Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kaidah al-‘Adatu Muhakkamah dalam Pengembangan Hukum Adat

Kaidah al-‘Adatu Muhakkamah dalam Pengembangan Hukum Adat

Dalam berbagai literatur qawa’id fiqhiyah, macam-macam kaidah fikih, secara umum disusun dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, kaidah-kaidah fikih induk (al-qawaid al-asasiyah). Disebut induk, karena banyak kaidah-kaidah cabang yang dapat dikembalikan atau diproyeksikan kepadanya. Kedua, kaidah-kaidah fikih cabang yang disepakati oleh mayoritas ulama. Ketiga, kaidah-kaidah fikih cabang yang diperselisihkan oleh para ulama.   Salah satu dari kaidah fiqh induk adalah:

 اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

Artinya: Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum. 

Kaidah ini diambil dari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Umpamanya dari ayat Al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpaling-lah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf: 199). 

Kaidah ini diambil juga dari hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:

مارآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه أحمد موقوفا على ابن مسعود)

Artinya: Sesuatu yang dipandang baik oleh Kaum Muslimin, maka di sisi Allah hal itu baik. (HR. Ahmad, mauquf dari Ibnu Mas’ud).

Syaikh Yasin Fadani dalam kitab Fawaid al-Janiyyah mendefinisikan adat:

العادة هي عبارة عما استقر في النفوس من الأمور المتكررة المقبولة عند الطبائع السليمة 

Artinya: Adat adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang kali dan dapat diterima oleh orang banyak secara tabiat yang normal. 

Sedangkan menurut Imam al-Jurjani dalam kitab Ta’rifat:

العادة هي استمر النفس عليه على حكم المعقول وعادوا اليه مرة بعد اخرى

Artinya: Suatu perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus. 

Para ulama mengartikan adat dalam pengertian yang sama dengan urf, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda. Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa adat dan urf adalah semakna, yang merupakan perbuatan atau perkataan. Keduanya harus betul-betul dilakukan secara berulang-ulang oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang sehat tabi’at yang sejahtera. Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’. 

Adapun hal-hal yang menyebabkan kerusakan, kedurhakaan dan tidak ada faedahnya sama sekali tidak termasuk dalam katagori adat dan ‘urf. Misalnya: mu’amalah dengan riba, judi (seperti permainan Higg Domino), saling menipu, penghakiman massa dan sebagainya. Meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasakan lagi keburukannya, tetap tidak bisa diberlakukan sebagai hukum adat.

Tradisi atau adat sangat berperan dalam pembentukan dan pengembangan hukum Islam. Adanya berbagai aliran hukum dalam sejarah, sesungguhnya juga karena andil adat istiadat masyarakat setempat. Imam Abu Hanifah (pembangun Mazhab Hanafi) banyak mempertimbangkan adat atau kebiasaan masyarakat Irak dalam menetapkan hukumnya. Imam Malik banyak dipengaruhi oleh tradisi atau adat ulama-ulama Madinah. Imam as-Syafi’i memiliki qaul qadim (ketika ia berada di Baghdad) dan qaul jadid (ketika berada di Mesir), disebabkan perbedaan adat atau tradisi kedua negara atau wilayah tersebut.  

Banyak sekali aturan hukum Islam atau fikih yang ditetapkan dengan mempertimbangkan adat kebiasaan ini. Umpamanya, jual beli ta’athi (mengambil barang atau benda, kemudian memberikan sejumlah uang atau alat tukar lainnya yang telah diketahui), penemplean atau pelabelan harga barang seperti yang sering dilakukan di mall-mall atau supermarket, atau pengumuman melalui lisan atau tulisan.

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-Nya pernah mengatakan: “Sesungguhnya keadaan alam, bangsa-bangsa dan adat istiadat mereka tidak kekal (tetap) menurut suatu contoh dan metode yang tetap. Yang ada adalah perubahan menurut waktu dan keadaan. Hal ini terjadi bagi perorangan waktu dan tempat, dan terjadi di negara-negara, waktu dan daerah-daerah itu”. 

Mencermati kenyataan yang terjadi pada individu masyarakat dan bangsa seperti digambarkan oleh Ibn Khaldun dan respons Islam terhadapnya, maka adat kebiasaan tersebut harus tetap dipertahankan. Perlu digarisnbawahi bahwa adat dapat dijadikan sebagai pijakan hukum selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Referensi:

Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih), Palembang: Amanah, 2019.

Imam al-Jurjani, Ta’rifat, Jakarta: Dar Kutub al-Islamiyah, 2000.

Jalalaluddin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, Beirut: dar al-Fikr, 1958.

Syaikh Yasin Fadani, Fawaid al-Janiyyah, (Lebanon: Darur Rasyid, tt), h. 89.

Muhammad Rudi Syahputra, Muksalmina, & Sari Yulis. (2023). Tindakan Main Hakim Sendiri Terhadap Pelanggar Syariat Islam Perspektif Hukum Adat Dan Hukum Islam. Jurnal Al-Nadhair, 2(2), 149–160. https://doi.org/10.61433/alnadhair.v2i2.42



Posting Komentar untuk "Kaidah al-‘Adatu Muhakkamah dalam Pengembangan Hukum Adat"