Tangisan Amera di Sudut Gaza
Hembusan angin sore yang menerbangkan pasir-pasir gurun bak gelombang di lautan, tertahan pada sebuah tembok yang berdiri kokoh memblokade Gaza dari dunia luar. Penduduk Gaza seakan berada dalam penjara terbesar dunia, begitulah yang dirasakan penduduk As-Seba, bagian selatan Gaza yang berbatasan langsung dengan Mesir. Keinginan mereka untuk merdeka hanya tertuang pada tulisan free palestine yang terukir dalam bentuk graffiti dan khat Arab. Presiden Mesir kala itu, menutup rapat pintu perbatasan Mesir-Gaza, sehingga masyarakat As-Seba sangat sulit mendapatkan kebutuhan pokok, makanan, susu bayi, obat-obatan dan BBM.
“Amera sayang! Dengarkan abi, ya? Pergilah ke belakang sumur, abi telah membuat lobang di sudut kanannya, masuk dan bersembunyilah di dalamnya”, sambil mengusap air matanya, dengan suara begitu lembut, Mehmed Pasya meminta sang buah hati untuk bersembunyi.
Sambil menangis tersedu sedan, Amera berlari kecil ke tempat persembunyian yang telah dibuat abinya. Suara hujanan peluru begitu jelas terdengar dari luar rumah. Para serdadu Israel terlihat sangat bersemangat menghujani tembakan demi tembakan di perkampungan As-Seba yang disinyalir menjadi tempat persembunyian beberapa anggota Ḥarakat al-Muqāwamah al-ʾIslāmiyyah (Hamas).
Tatapan mata Mehmed mencermati setiap gerak-gerik serdadu Israel dari balik lobang kecil di sudut ruangan yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang bekasnya. Tanganya memegang senjata laras panjang buatan Rusia, Ak-47.
“Mudah-mudahan Amera baik-baik saja di bawah sana”, batinnya dalam hati.
Ia merasa khawatir atas keselamatan buah hatinya itu. Si kecil Amera hanya memiliki seorang abi yang senantiasa menjaga dan merawatnya. Uminya, Sarah Humaira Ashwaq telah dibunuh secara keji oleh Zionis Israel ketika terjadi kontak senjata tahun 2009 silam. Masih terekam jelas bagaimana kebejatan Zionis Laknatilllah dalam memori Mehmed. Sang istri, ketika itu sedang mengandung anak keduanya diperlakukan begitu keji didepannya. Tubuh lemasnya digilir oleh beberapa serdadu, sedang ia tidak bisa berbuat apa-apa hingga akhirnya Sarah syahid.
“Benn, coba kamu periksa rumah batu-bata itu”, kata sang komandan Infantri Zion I, sambil menunjuk ke rumah Mehmed Pasya.
“Kelihatannya rumah itu sudah tidak ada lagi penghuninya, dan!”, timpal yang lain kepada sang komandannya.
“Ok, ayo kembali!”, kata komandan memberi intruksi. Mereka pun beranjak.
Cahaya matahari dengan sinar keemasannya memasuki lobang-lobang kecil di sudut sebuah ruangan. Sedari tadi, ada dua bola mata yang masih mengawasi gerak-gerik musuh Allah. Terlihat beberapa tank dan panser membuat jalanan berdebu, meninggalkan perkampungan As-Seba yang berbatasan langsung dengan Mesir. Ia pun beranjak pergi menemui si kecilnya.
Dalam lobang bawah tanah yang gelap, Amera masih menangis tersedu sedan sambil menundukkan kepalanya. Entah berapa kali ia menyeka air mata dengan tangan mungilnya, sambil menyebut-nyebut abinya. Pikirannya hanya tertuju sang abi yang sedang berada di luar. Rasa takut akan kehilangan abinya dan marah akan kebejatan Zionis telah bercampur menjadi satu dalam tangisnya. Sungguh, ia sangat membenci para zionis itu. Rasa itu telah tertanam semenjak ia dalam kandungan uminya.
“Sini sayang!”, sang abi menjulurkan tangannya.
Kedua mata Amera sembab, terlihat ia masih sesenggukan menahan isak tangis. Lalu Mehmed meraihnya dan menggendongnya ke dalam rumah.
“Abi, umi tu kenapa cepat kali meningalkan Amera? Apa umi tidak sayang Amera lagi?”, tanya Amera sambil memandang abinya. Pertanyaan Amera membuatnya terkejut. Memang, abinya sudah pernah mengatakan bahwa uminya sedang menunggunya di suatu tempat yang sangat indah. Tempat yang dipenuhi bunga-bunga dataran tinggi yang bermekaran, kupu-kupu datang hinggap sana sini, membuat tempat itu begitu berwarna.
Amera sering kali bersedih ketika melihat anak-anak seusianya bermain, bermanja, dan bercanda ria dengan umi mereka, sedang ia hanya bisa menatap cinta kasih sayang itu dari balik jerjak-jerjak jendela. Ingin rasanya ia seperti mereka, memiliki seorang umi.
“Kata siapa umi tidak menyayangi Amera?”, sambil mengusap air matanya, Mehmed Pasya ingin mengobati kesedihan yang dialami putri kecilnya.
Ia tidak menjawab apa-apa. Hening dalam kebisuan.
“Umi itu menyayagi Amera dengan sepenuh hati. Buktinya, umi kan sering menjumpai dalam mimpi-mimpi Amera. Lalu Amera bermanja-manja, bercanda, dan bermain-main sama umi di taman bunga yang Amera ceritakan ke abi, kan?”.
Ia mengangguk kecil. Mungkin di usianya yang memasuki lima tahun, ia sudah bisa memahami perkataan abinya atau mungkin juga tidak.
***
Beberapa waktu telah berlalu, setelah sebelummnya para serdadu Israel menyisir perkampungan As-Seba. Keseharian Mehmed dihabiskan bersama sang buah hati, lebih-lebih lagi awal tahun ini Amera akan segera didaftarkan di Madrasatul Ula As-Seba.
“Assalamu’alaik, ya Basya!”, salah seorang anggota Hamas, Asif Muhammad berdiri di depan pintu rumah Mehmed, mengucapkan salam. Basya merupakan panggilan orang Mesir kepada orang yang lebih tua darinya, seperti ya kapten.
“Wa ‘alaikassalam, tafaddhal biddudkhul, ya Asif (Mari masuk, Asif!)!”. Mehmed menjawab salam dari dalam rumah, mempersilahkannya masuk. Mehmed Pasya adalah seorang anggota elite Hamas yang tinggal di As-Seba. Identitasnya sebagai anggota elit memang sengaja disembunyikan, hanya beberapa orang saja yang mengetahui, salah satunya Asif Muhammad. Ia tidak ingin dengan statusnya sebagai elite Hamas akan mengancam keselamatan buah hatinya.
“Masya Allah, laqad ‘akhbarani jasus annal yahuda satuhlika hazihil qaryah asra’a ma yumkin (Seorang mata-mata memberitahuku, perkampungan As-Seba akan dihancurkan secepat mungkin)”, kata Asif dengan loghat Mesirnya yang serius. Sebelumnya, Mehmed tinggal di Alexandria, Mesir lalu mengikuti jejak ayahnya yang telah syahid sebagai anggota Hamas dan memilih untuk menetap di As-Seba.
“Fi man sami’ta hadzal khabr, Asif? (Dari mana kamu dengar berita ini, Asif?)”, tanya Mehmed penasaran.
“Salah seorang anggota kita berhasil menyadap informasi rahasia di Tel Aviv, ia mengirim berita tersebut melalui sandi-sandi khusus, tidak melalui alat komunikasi, karena seluruh satelit berada di bawah pengawasan inteligen Zionis”, jelasnya panjang lebar.
“Ayyuha, syukran lak! (Baiklah, terima kasih banyak)”.
Lalu Asif mohon diri dari kediaman Mehmed. Tugasnya selaku informan Hamas sangat diperlukan sekarang. Baru beberapa langkah ia berjalan, satu tembakan sniper yang entah dari mana datang, menembus jantungnya. Ia pun ambruk tak jauh dari hadapan Mehmed. Dengan mengerahkan segenap kekuatan, ia memberi isyarah ke Mehmed agar tidak menghampirinya dan menyuruh Mehmed bersembunyi.
Dengan cepat, Mehmed berlari ke kamar anaknya. Amera yang sedang bermain boneka dikejutkan oleh kedatangan abinya yang tergesa-gesa.
“Ada apa, abi?”, tanya Amera penasaran.
Sambil menunduk dan manarik nafas dalam-dalam. Kedua tangannya memegang bahu si kecil. ”Amera masih ingat kan lobang di belakang sumur itu?”, tanya Mehmed dengan tatapan yang serius.
Amera hanya mengangguk kecil, ia masih mengingatnya.
“Sekarang cepat larilah kesana, sayang!”.
Tanpa disuruh dua kali, gadis kecil itu berlari dengan cepat sambil menenteng boneka panda kecil di tangannya. Seakan ia tau keadaan sedang bahaya di luar rumah. Anak-anak Palestina memang hidup dalam tekanan dan serangan para Zionis. Keadaanlah yang mengajari mereka untuk selalu sigap ketika bahaya datang.
Mehmed juga bergerak cepat. Ia menuju ke ruangan bawah tanah tempat persenjataannya. Tangannya mengambil Ak-47, pistol dan beberapa granat tangan. Dari luar terdengar suara tembakan dan ledakan para serdadu yang membombardir perkampungan As-Seba. Anak-anak dan para penduduk yang menjadi korban kebejatan zionis berteriak histris meminta pertolongan. Hanya jeritan dan tangisan yang disertai tasbih, terdengar ketika itu. Hasbunallah wa ni’mal wakil ni’mal maula wa ni’man nashiir (Cukuplah Allah menjadi penolong bagi kami dan Dialah sebaik-baik pelindung).
Sang elite Hamas yang bersembunyi di balik ruangan, melepaskan beberapa tembakan. Tiga serdadu yang berada atas tank ambruk sekaligus. Anak-anak remaja yang terbakar semangat intifadha juga turut melawan dengan hanya bermodalkan sebuah ketapel di tangan dengan amunisi batu-batu kecil dan kelereng.
Setelah setengah jam terjadi baku tembak antara Zionis dan Mujahidin, terlihat satu rudal dari pesawat tempur F22 Raptor milik Israel mengarah ke tempat Mehmed. Rudal itu dapat mengunci targetnya, sehingga ia tidak bisa berbuat banyak. Kematian yang diharapkan oleh kebanyakan orang Islam sudah menunggunya, syahid fi sabilillah. Harapannya di detik-detik terakhir agar adik bungsunya membaca pesannya, lalu membawa Amera ke Mesir bersamanya. Rumahnya pun hancur berkeping-keping.
Amera yang berada dalam kegelapan begitu terkejut dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Air matanya terus bercucuran mengingat abinya sedang berada di luar. Tangisannya pun bertambah keras setelah suara gemuruh itu hilang. Sungguh, tak ada hati yang yang tak terenyuh bila mendengar tangisannya Amera. Saat itu, seorang anak manusia di sudut Gaza dalam kesendiriannya menyimpan berjuta-juta kesedihan.
Seorang lelaki dewasa berjalan melewati beberapa reruntuhan hingga akhirnya ia sampai pada puing batu-bata yang telah rata dengan tanah. Hatinya begitu miris. Ia mencari-cari sebuah lobang yang telah tertimpa puing reruntuhan. Setelah ditemukan, ia membuka penutup lalu menjulurkan tangannya.
Amera yang masih sesenggukan meraih tangan seorang lelaki dari dasar lobang. Ia terkejut ternyata bukan abinya yang datang. Lelaki itu mengeluarkan Amera sambil membersihkan debu-debu kusam di wajahnya.
"Wajahmu memang tidak putih, rambutmu tidak pirang, matamu tidak biru, dan etnismu tidak Eropa, sebab itu NATO tidak bergerak untuk menyelamatkanmu", batinnya.
“Amu!”, panggilnya lirih. Lelaki itu hanya tersenyum.
“Abi dimana, amu?“, tanya Amera.
“Abinya Amera mau jumpai umi, sekarang Amera sama amu, ya!“, jawab lelaki itu singkat.
Amera hanya terdiam. Entah ia paham kata-kata amunya, entah tidak. Azam dan Amera lalu berjalan melewati puing-puing reruntuhan seiring dengan semburat sinar mentari menguning di ufuk timur.
Elfasiy, Cerpenis. Cerpen ini telah diterbitkan oleh "Majalah Umdah" Edisi Januari 2019 berjudul “Tangisan Amera di Sudut Gaza”.
Posting Komentar untuk "Tangisan Amera di Sudut Gaza"