Khitbah dalam Perspektif Hukum Islam
Pengertian Khitbah
Manusia diciptakan Allah SWT bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Ada suku Aceh, Gayo, Batak, Dayak, begitu pula ada bangsa Indonesia, Arab, Turki, Eropa dan lain sebagainya. Hal ini tidak lain supaya mereka saling mengenal satu sama lain. Sebagaimana firman Allah SWT:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat [49]: 13).
Pernikahan merupakan sarana terpercaya dalam memelihara kontinuitas keturunan dan hubungan, menjadi sebab terjaminnya ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Oleh karena itu, syari’at Islam menghendaki pelaksanaan khitbah sebagai tahap awal menuju pernikahan untuk menyingkap kecintaan kedua pasang manusia yang akan melaksanakan akad pernikahan, agar dapat membangun keluarga yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam. Dari keluarga inilah akan muncul masyarakat yang baik yang dapat melaksanakan syari’at Allah dan sendi-sendi ajaran agama Islam yang lurus.
Kata 'khitbah' berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari kata khataba-yakhtubu-khatban-khitbatan yang berarti meminang atau melamar. Istilah khitbah juga sudah diserap dalam KBBI yang berarti peminangan kepada seorang wanita untuk dijadikan istri.
Abdullah bin Mahazy al-Syarqawy dalam kitabnya al-Syarqawy ‘ala Syarh al-Tahrir mendefinisikan khitbah dengan:
الخطبة هى التماس الخاطب النكاح من جهة المخطوبة سواء كان منها او من وليها او سيدها
Artinya: Khitbah merupakan permintaan nikah oleh peminang kepada perempuan yang dipinang, baik langsung melalui dirinya, walinya, atau sayyidnya.
Lain halnya dengan Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, beliau mendefinisikan khitbah dengan:
الخطبة هى اظهار الرغبة فى الزواج بامراة معينة واعلام وليها بذالك وقد يتم هذا الاعلام مباشرة من الخاطب او بواسظة اهله
Artinya: Khitbah adalah pernyataan keinginan menikahi seorang perempuan tertentu, lalu ia memberitahukan (keinginannya) kepada wali perempuan. Dan sesungguhnya pemberitahuan itu dilakukan langsung dari yang meminang atau melalui perantaraan keluargnya.
Dari dua definisi di atas, terlihat jelas para ulama sepakat bahwa yang dimaksudkan dengan khitbah adalah permintaan yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada wali perempuan atau kepadanya langsung untuk meminta kesediaannya menikah.
Landasan Hukum Khitbah
Khitbah bukan syarat sahnya pernikahan. Jika pernikahan berlangsung tanpa didahului oleh khitbah, maka pernikahan tersebut tetap sah.
Imam al-Ghazali mengatakan khitbah termasuk perkara sunnah yang diajarkan Rasulullah Saw. Beliau melamar ‘Aisyah, putrinya Abu Bakar melalui Khaulah, istrerinya Utsman Ibn Mazh’um. Abu Bakar pun menerima lamaran dari Rasulullah setelah memastikan bahwa keluarga Muth’im tidak berniat lagi untuk melanjutkan hubungan dengan keluarganya, lalu beberapa waktu kemudian Khaulah juga mendatangi Saudah untuk melamarnya. Ini membuktikan bahwa khitbah telah diajarkan oleh Rasulullah sebagai langkah awal menuju jenjang pernikahan.
Menurut mayoritas ulama, khitbah adalah perkara yang dibolehkan. Namun perlu digarisbawahi bahwa khitbah bukanlah akad nikah, bukan pula prosesi setengah nikah yang memperbolehkan seorang laki-laki bebas melakukan hal-hal yang dilarang agama. Khitbah bertujuan untuk mengamankan perempuan agar tidak ada laki-laki lain yang meminangnya.
Dengan kata lain, khitbah merupakan langkah awal menuju pernikahan. Khitbah sangat dianjurkan bagi seseorang yang telah menaruh hati kepada lawan jenis dan bermaksud untuk menikah. Akan tetapi hubungan ini harus tetap terbingkai dalam nilai-nilai kesalihan, sehingga kedekatan hubungan yang bisa menimbulkan potensi fitnah sudah di luar konsep ini.
Referensi:
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Terjm: Abdul Majid Khon), Judul Asli: al-Usrah wa Ahkamuha fi al-Tasyri’ al-Islami, Cet. III Jakarta: Amzah, 2014.
Al-Dimyathy, Sayyid Abi Bakr Syatha, I’anah al-Thalibin, Jld. I, Semarang: Haramain, t.t.
Al-Syirbiny, Muhammad bin Ahmad al-Syirbiny al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, Suriah: Dar al-Fikr, 2009.
Al-Syarqawy, Abdullah bin Mahazy, Al-Syarqawy ‘ala al-Tahrir, Semarang: Haramain, t.t.
Muhammad Rudi Syahputra, Keabsahan Khitbah Melalui Media Sosial dalam Perspektif Fiqh Syafi'iyyah, Skripsi, IAI Al-Aziziyah, 2015.
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Jld. VII, Cet. XXXI, Suriah: Dar al-Fikr.
Posting Komentar untuk "Khitbah dalam Perspektif Hukum Islam"