Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hakikat Cinta dan Debu pada Sandal Laila

akikat Cinta dan Debu pada Sandal Laila

Seseorang yang hitam legam datang dan memeluk Rasulullah. Rasulullah bertanya: “Mengapa engkau memelukku?”. Ia menjawab: “Sungguh ya Rasulullah, aku tak yakin akan bisa masuk surga bersama engkau, engkau mulia sedangkan aku tak mulia, engkau bangsa Quraisy, sedangkan aku bukan, engkau keturunan Nabi, dan aku bukan siapa-siapa.

Rasulullah menjawab:

Seseorang akan bersama orang yang dicintainya”.

Cinta bisa membawa kita masuk ke dalam surganya Allah. Orang ketika berbicara masalah cinta, maka cinta adalah sebuah rasa dan rasa tidak mesti harus ada sebuah ungkapan kata. Karena setiap kata yang bercerita tentang rasa, maka pasti akan berdusta.

Seperti halnya seorang suami yang sangat mencintai isterinya, lalu ia pun berkata: “Sayang, aku akan mencintaimu sampai 1000 tahun lamanya”. Bibir isterinya pun terlukis sebuah senyuman dengan pipi yang memerah, ia pun berujar: Gimana sih abang ini, nggak ada orang yang sampe umurnya 1000 tahun. 

Begitulah kata, ia tak bisa mewakili rasa dalam hati. Andai pun rasa itu diucapkan dengan kata, maka ia akan berdusta. Itulah hakikat cinta, satu kata cinta tak kan bisa terwakili hanya dengan kata.

Sebagaimana ungkapan Imam Jalaluddin Ar-Rumi:

الحب لا يكتب على الورق ،ﻷن الورق قد يمحوه الزمان ، ولايحفر على الحجر لأن الحجر قد ينكسر، الحب يوصم في القلب وهكذا يبقى إلى الأبد

Cinta tidaklah ditulis di atas kertas, karena kertas dapat terhapus oleh waktu, dan tidak pula terukir di atas batu, karena batu dapat pecah. Cinta distigmatisasi di dalam hati, dan tetap abadi selamanya”.

Apa sih cinta itu?

Berbicata tentang cinta merupakan obrolan panjang yang sifatnya abstrak, absurd, bahkan tak memiliki ujung pembahasan sampai hari kiamat pun. Tentunya, semua orang di dunia ini membicarakan cinta. Namun banyak dari mereka tidak memahami hakikat cinta itu sendiri, baik secara definisi, terminologi, maupun dalam praksis aksiologinya. 

Sejarah mencatat bahwa kisah cinta pertama dan romansa di dalamnya bahkan sudah ada sejak manusia pertama menginjakkan kakinya di bumi ini. Siapa lagi kalu bukan Nabi Adam a.s dan Siti Hawa. Kisah cinta mereka direkam dalam Ayat al-Qur’an melebihi kisah cinta Romeo-Julliette dalam karyanya William Shakespeare dan Qais-Layla Majnun dalam karyanya Syekh Nizami Ganjavi.

Dewasa ini, generasi millenial dan generasi bucin pun punya segudang cara dalam mendefinisikan cinta menurut bahasa yang mereka alami sendiri. Mereka mendefinisikan cinta sesuai kadar pemahaman dari pengalamannya masing-masing. Namun, bagaimana Islam memandang persoalan cinta?

Bila ditinjau dari segi bahasa, cinta berarti:

الْمَحَبَّةُ فِي اللُّغَةِ: الْمَيْلُ إِلَى الشَّيْءِ السَّارِّ

Condrong hati pada sesuatu yang berjalan”.

Al-Imam al-Gharib al-Ashfihani berkata mengenai cinta:

قَالَ الرَّاغِبُ الأَصْفَهَانِيُّ : الْمَحَبَّةُ إِرَادَةُ مَا تَرَاهُ أَوْ تَظُنُّهُ خَيْرًا ،وَهِيَ عَلَى ثَلاثَةِ أَوْجُهٍ : مَحَبَّةٌ لِلَّذَّةٍ كَمَحَبَّةِ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ ،وَمَحَبَّةٌ لِلنَّفْعِ كَمَحَبَّةِ شَيْءٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى {وَأُخْرَى تُحِبُّونَهَا نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ} ،وَمَحَبَّةٌ لِلْفَضْلِ كَمَحَبَّةِ أَهْلِ الْعِلْمِ بَعْضَهُمْ لِبَعْضٍ لأَجْلِ الْعِلْمِ

Imam Ar-Roghib Al-asfahani mengatakan bahwa cinta itu menghendaki atau mengharap pada sesuatu yang kau lihat atau kau menyangka sesuatu tersebut adalah baik. Perasaan cinta dapat dikelompokkan dalam tiga katagori:

Pertama, cinta karena suatu kenikmatan, selayaknya cintanya dua sejoli antara pria pada wanita. 

Kedua, cinta karena suatu kemanfaatan, seperti cinta pada sesuatu yang bisa dimanfaatkan, hal ini bisa dilihat  dalam surat As-Shaff ayat 13:
 
وَأُخْرَى تُحِبُّونَهَا نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman”.

Ketiga, cinta karena keutamaan, seperti cintanya orang yang berilmu pada sebagian ke sebagian yang lain dikarenakan ilmu.

Dan perlu diingat bahwa, semua cinta itu pada hakikatnya Allah-lah yang menganugerahkan pada setiap hati manusia, dimana tiada kemampuan bagi manusia untuk memilih dan tiada pula kesanggupan atau kemampuan baginya untuk mengontrol cinta. Seseorang yang telah dimabuk cinta, maka pandangan si pecinta akan dipenuhi oleh keindahan yang hanya bisa dirasakan olehnya.

Debu pada Sandal Laila 

Seperti kisah Qais dan Laila. Suatu ketika Qais ditanya:

أ ليلي تريد ام الدنيا و ما فى طواياها ؟
Bila engkau disuruh memilih, wahai Qais! Engkau akan memilih Laila ataukah dunia beserta seluruh isinya?”.

Qais menjawab:

غبار من تراب نعالها ألذ إلى نفسي وأشهى لبلواها
Debu yang menempel di sandal Laila lebih aku suka dan menyembuhkan lukaku dari pada dunia dan isinya”.

Dari kisah tersebut, ada seorang ulama yang berkata, kalaulah cinta kepada wanita bisa begitu hebat dan dahsyatnya yang membuat ia buta sehingga tak bisa lagi membedakan antara sandal dan muka, seperti cintanya Qais yang tergila-gila kepada Laila, maka bagaimana cinta kepada Rabbul Makhluk, Allah SWT dan Sayyidul Habib, Nabi Muhammad SAW.

Makanya, orang yang belum sampai pada tingkatan cintanya Qais pada Laila, ia akan merasa heran dengan sikap seseorang yang senantiasa istiqamah. Mengapa para pemuda pergi ke mesjid 5 kali sehari. Mengapa mereka tidak shalat di rumah saja? Mengapa para santri sangat betah belajar lama-lama di pesantren? Mengapa mereka bisa tahan atas pengekangan dengan segala aturan? Sesungguhnya orang itu belum sampai pada tingkatan cintanya Qais-Laila, apalagi cinta kepada al-Habib al-Mustafa.

Ada seorang ulama berpesan bahwa cinta hakiki itu tidak dibangun atas kecantikan dan keelokan paras. Ada seorang wanita yang mengandalkan kecantikan parasnya, ia berfikir bahwa dialah perempuan yang paling cantik di dunia ini. Ia rela menghabiskan banyak uang untuk mempercantik diri dan memperindah bentuk tubuh. Padahal tidak! Jika yang diinginkan hanya kecantikan dan keelokan parasnya, maka sungguh banyak sekali perempuan lain yang lebih bahkan paling cantik darinya.

Cinta sejati itu perlu membangun jiwa agar menjadi mulia. Tentu, mulia karena cinta, seperti yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Sebagai contoh, seorang suami yang bergaji pas-pasan, akan tetapi mempunyai seorang istri yang berjiwa mulia. Ia berani berkata kepada suaminya: “Wahai suamiku, aku lebih rela lapar di dunia, daripada kau beri makan lalu aku masuk neraka”. Sang isteri rela untuk merasakan lapar sesaat daripada ia harus merasakan lapar selamanya di akhirat nanti. Mengapa ia mengatakan demikian? Karena ia mengerti dan mencintai suaminya, jangan sampai suaminya mengambil yang haram, yang bukan menjadi haknya.

Dikutip dari berbagai sumber. Lihat juga bab cinta dalam Kitab Fiihi Maa Fiihi, Imam Jalaluddin Ar-Rumi.

Posting Komentar untuk "Hakikat Cinta dan Debu pada Sandal Laila "