Lamleumpoe
Malam yang panjang telah merangkak pergi dan sinar keemasan sang mentari mulai menghiasi desa Lamleumpoe. Hari yang ditunggu-tunggu Meurah Gajah telah tiba, dimana ia akan melakukan akad nikah dengan Sang pujaan hati. Ia telah bersiap-siap dengan baju kemeja Kamiliano putih, dibalut dengan kain sarung Kabbano, dan terlihat gagah dengan peci putih Gayo-nya.
Ia berjalan bak uleebalang di masa Teuku Umar menuju Mesjid At-Takasur, diikuti beberapa familinya yang berjalan mengikuti. Hatinya saat itu bermekaran bagaikan bunga-bunga yang tumbuh di musim semi, indah dan merekah.
Mereka tiba di mesjid ketika hujan rintik-rintik mulai membasahi Desa Lamleumpoe. Terlihat di atas permadani merah, seorang gadis jelita yang terbalut cadar kelabu, hanya menampakkan kedua mata hitam dengan bulunya yang lentik, seakan badai pun tak sanggup melewatinya. Baju terusannya dipenuhi manik-manik bercahaya yang berjuntai ke bawah. Semuanya terbalut dalam bingkai Islami, membuat hati Meurah Gajah berdebar begitu kencang.
“Subhanallah...!”, ucapnya lirih dengan penuh kekaguman.
Ia dan seluruh sanak familinya telah menempati tempat yang telah disediakan panitia. Suasana mesjid terasa senyap, walau banyak dihadiri oleh sanak famili dari kedua mempelai, seakan bukan hanya Meurah Gajah saja yang menantikan akad sakral ini, hadirin pun merasa bahagia atas kedua insan ini yang akan merajut bahtera rumah tangga.
Melihat suasana masjid yang tenang, Tgk. Husaini selaku qadhi penghulu menjulurkan tangan kanannya ke arah Meurah Gajah yang duduk berhadapan dengannya, seraya berkata:
“Saya nikahkan untukmu, Nurlela binti Polem dengan maskawin satu gelang kayu kouka dibayar tunai”, ucap sang qadhi mengijabkan nikah.
“Ehemm..., Saya terima nikahnya Nurlela binti Polem dengan maskawin satu gelang kayu kouka dibayar tunai”, ucap Meurah Gajah dengan lancar.
“Bagaimana para saksi, sah?”, tanya sang qadhi ke arah Tgk. Rimba dan Tgk. Uteun yang duduk di belakang mempelai laki-laki sebagai saksi.
“Sah...sah...”, jawab mereka serentak.
Di hari bahagia itu, setidaknya ada 4 pasangan yang melakukan akad nikah bersama dengan Meurah Gajah. Mereka adalah Mad Bheng dan Nyak Mah, Muhar dan Rabumah, Lamkaruna Sinyak dan Lamkaruna Gadih, serta Beuna Raseuki dan Geubrina Rizki. Setelah terjadinya ijab dan qabul, kelima pasangan itu tersenyum cerah, secerah matahari yang menantang dari ufuk timur kala itu.
Langit telah membukakan pintu, agar sepasang kekasih bertemu dalam satu jiwa yang dipenuhi cinta. Gemerlap-gemerlip cahaya asmara seakan memenuhi angkasa jiwa mereka. Mereka bak bersanding dengan seorang bidadari. Dalam dunia yang sempit, mereka hadir sebagai bidadari dunia. Dan, alangkah mulianya seorang laki-laki bila bisa bersanding dengannya.
Akhirnya ikatan yang dulunya terpisah, kini telah terbingkai dalam ikatan yang sah, terbalut dalam tali mahabbah, dan terajut dalam satu lembaran kehidupan yang kan dijalani bersama. Sebuah keluarga kecil yang kan diisi dengan kebahagiaan, diwarnai dengan cinta, dan dipadu dengan kasih sayang.
Meurah Gajah merasa dirinya baru saja menyempurnakan separuh agama dengan sang bidadari yang terbalut dengan keimananan dan keshalihan, membuat jiwanya bagai dipenuhi bunga-bunga dataran tinggi yang sedang bermekaran.
Begitulah. Langit telah melukiskan takdirnya. Dan matahari pun membawa sinar kebahagiaan di hati mereka. Dawai asmara akan mereka petik, samudera cinta akan mereka arungi, serta jalan kebahagiaan akan mereka tapaki bersama. Sungguh, berbahagialah mereka yang telah menyempurnakan separuh agama ini. Selayak untaian kalam nabawi, “Wahai generasi muda! Barang siapa diantara kamu yang telah mampu berkeluarga, hendaknya ia segera menikah, karena itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa, karena dapat mengendalikanmu”.
“Kini tiba saatnya kita mendengarkan nasihat pernikahan untuk kelima mempelai yang akan disampaikan oleh seorang yang sudah mengarungi bahtera rumah tangganya selama 20 tahun. Beliau dikenal sebagai sosok yang bersahaja, Imum Syiek Desa Lamleumpo, sekaligus pimpinan Dayah Darul Ilmi, yang tak lain adalah guru dari kelima mempelai, kepada Almukarram Abati dipersilahkan…”
Suara pembawa acara walimatul 'urusy itu menggema di pelataran Masjid at-Takasur nan mewah itu.
Lalu, seorang laki-laki paruh baya yang selalu berpeci putih beranjak menaiki mimbar. Abati yang menjadi sapaan akrap masyarakat Desa Lamleumpoe berjalan dengan langkah tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa dan jah. Dagunya yang ditumbuhi juntaian janggut nan rapi, meyakinkan bahwa ia memang seorang ulama kharismatik. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Di hari bahagia ini, beliau dipercayakan untuk memberikan nasehat pernikahan terhadap pasangan yang telah melakukan akad nikah. Beliau adalah Abati Ahmad Daman Huri.
Dalam nasehatnya, Abati mengibaratkan pasangan suami istri itu bagaikan aweuk dan beulangeng, keduanya selalu bersentuhan, sesekali akan memunculkan percikan dan gesekan yang akan menimbulkan gelora dalam rumah tangga, sehingga bila menghadapinya dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan, maka percikan itu akan hilang seiring berjalannya waktu, namun bila tidak, maka percikan itu akan terus menjalar bagai api dalam sekam hingga menjadi sebab retaknya sebuah hubungan.
Sungguh petuah yang sarat akan makna, berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah beliau alami sendiri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Sebagai penutup dari nasehatnya, beliau menceritakan bagaimana kisah perjalanannya dalam menapaki sebuah keluarga kecil hingga sampai berumur kepala enam ini.
Setelah prosesi akad selesai, kelima pasangan menapaki jalan setapak ke rumah masing-masing. Dari kejauhan, semburat sinar mentari di ufuk barat mulai meredup. Di tepi Sungai Lamleumpoe, Meurah Gajah dan Nurlela akan bermalam di sebuah rumah kecil mirip bungalow milik keluarga besar Nurlela. Kisah hari ini dilaluinya dengan sungguh indah. Semuanya serba indah. Dunia seakan terasa hanya milik mereka berdua. Kebahagiaan demi kebahagiaan merasuki relung jiwanya.
Meurah Gajah pun mengajak Nurlela masuk ke kamar pengantin yang semerbak mewangi kasturi. Mereka duduk berhadapan di tepi ranjang.
“Sekarang bukalah cadar yang menutupi wajahmu, sayang!”, pintanya dengan suara lirih.
Nurlela lama tak bergeming. Mungkin ia masih malu. Bagaimana tidak, selama ini ia tidak pernah sekalipun berhadapan dengan seorang laki-laki yang bukan mahramnya, apalagi tatkala mata keduanya saling memandang. Ia sangat menjaga pandangannya selama ini.
“Dulu memang pandangan kita masih haram, tapi sekarang menjadi halal. Dulu memang lirikan mata kita berasal dari hawa nafsu tercela, tapi sekarang sungguh berpahala. Dulu memandang wajahmu adalah dosa bagiku, tapi sekarang adalah surga bagiku. Sekarang bukalah cadarmu, janganlah kamu malu-malu dengan suamimu ini!”.
Akhirnya, Nurlela pun dengan penuh keyakinan membuka sebuah kain yang selama ini menutupinya dari pandangan semua lelaki. Kain yang membuatnya memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kain yang bisa menghantarkannnya menuju keridhaan Ilahi.
Meurah Gajah pun memandangi keelokan wajah pujaan hatinya. Kedua bola matanya sangat indah bak mata kijang, hitam pekat dalamnya jernih sejernih embun pagi. Pandangan mereka saling menyelami. Terngiang dalam diri akan sabda Nabi, “Sebaik-baik isteri adalah jika kamu memandangnya membuat hatimu senang, jika kamu perintah dia mentaatimu, dan jika kamu tinggal maka dia akan menjaga untukmu harta dan dirinya”.
“Oh Nurlela, kau cantik sekali, memandang wajahmu sangat menyenangkan bagiku!”, lirihnya.
Nurlela tersenyum sambil melingkarkan kedua tangannya.
“Akhi Meurah, kau pria terbaik yang pernah kutemui, kaulah cinta pertama dan terakhirku.
***
Semilir angin pagi berhembus pelan merasuki ke dalam sendi setiap orang. Hujan rintik-rintik semalaman menyisakan embun pagi yang begitu dingin. Para haritsul lail yang bertugas telah bergerak ke titiknya masing-masing. Suara gaduh pun terdengar begitu bergemuruh di telinga setiap santri. Di sudut sebuah kamar terlihat seorang anak manusia masih terbuai dalam mimpi, dengan bantal gulingnya dipeluk begitu erat. Liurnya membentuk bulatan yang menyerupai Pulau Weh di ujung zamrud khatulistiwa. Sungguh, mimpi yang sangat sempurna baginya.
Iqamat shalat subuh dari Masjid Poe Teumeureuhom telah dikumandangkan. Para jama’ah terlihat bergerak merapikan shaf masing-masing.
“Bruuuummm”. Suara air bergemuruh membasahi tempat tidur si Zaid. Ranjangnya kini bagai lautan Samudera Hindia yang telah dipenuhi air bah, ia baru saja dihantam oleh gelombang yang sangat besar hingga membuatnya terduduk di sudutnya. Mungkin air bah itu membuatnya sedikit syok.
Seberkas senyuman dari bibirnya tersungging penuh bahagia. Ia seakan menjadi pemenang dalam lakon yang diperankannya menjadi Meurah Gajah dalam teater Lamleumpoe semalam. Sebenarnya, ia ingin memejamkan kembali kedua bola matanya, berharap mungkin kisah cinta itu akan bersambung kembali.
Denga air yang masih tergenang, harapan hanya tinggal harapan. Ia pun beranjak melaksanakan shalat subuh.
Mideun Jok, 28 Rajab 1438 H
Elfasiy, Cerpenis Majalah Umdah. Cerpen ini telah diterbitkan oleh "Redaksi Atjeh Insight" Edisi Oktober 2022 berjudul “Lamleumpoe”, hlm. 10.
Posting Komentar untuk "Lamleumpoe"